Kamis, 13 Mei 2010

Counseling Directive and Non Directive

Teknik Konseling


Proses konseling melibatkan antara konselor dan klien, keberhasilan konseling banyak ditentukan oleh keefektifan konselor dalam menggunakan beberapa teknik yang bersumber dari beberapa teori pula, dan klien yang datang kepada konselor tentunya memiliki permasalahan yang berbeda-beda, hal itu diperlukan penyelesaian yang berbeda-beda pula. Bagi seorang konselor menguasai teknik konseling adalah mutlak. Sebab dalam proses konseling teknik yang baik merupakan kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan konseling. Seorang konselor yang efektif harus mampu merespon klien dengan teknik yang benar, yang sesuai dengan keadaan klien pada saat itu.

Seorang konselor bukanlah robot yang sedang berbicara, melainkan seorang individu yang sarat dengan latar belakang social-budaya-agama, persoalan-persoalan hidup, keinginan dan sebagainya. Jika konselor merespon terhadap klien dalam keadaan tidak nyaman, dan sedang terganggu, maka besar kemungkinan kondisi tersebut akan terbawa tanpa sengaja kedalam hubungan konseling, untuk mengatasi hal itu konselor harus berusaha mengusir segala masalah diri semaksimal mungkin.

Dalam melakukan proses konseling, ada yang menggunakan teknik konseling yang berpusat pada konselor dengan istilah lain Directive Counseling, dan teknik konselor yang berpusat pada klien atau istilah lain Non-Directive Counseling, yang keduanya tentunya diberikan sesuai dengan permasalahan yang terjadi pada diri klien.

Konseling dan psikoterapi bertujuan untuk membantu seseorang yang berada dalam kesulitan dan bantuan ini bersifat profesional, akan tetapi biasanya konseling digunakan untuk penyembuhan konseling yang mengalami gangguan relatif ringan, jika dibandingkan dengan konseli yang menjalani psikoterapi. Psikoterapi digunakan untuk menunjukan proses yang berlangsung lama dan problemnya lebih kompleks. Konseling dapat berbentuk bantuan yang berupa pendidikan, suportif, situsional, pemecahan masalah yang masih disadari atau normal. Sedangkan psikoterapi berupa yang khas, rekonstruksi, analitik dan pengungkapan masalah-masalah yang sudah tidak disadari yang sudah neurotik dan masalah-masalah yang emosional. Konseling ini bukan merupakan pertemuan biasa melainkan suatu pertemuan atau pelayanan yang berkelanjutan dan sistematis.

Dalam proses konseling ini terdapat beberapa teknik yang menunjang, sehingga proses konseling dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, diantaranya Directive Counseling (berpusat pada konselor) dan Non-Directive Counseling (berpusat pada klien).



1. Directive Counseling

Teknik directive counseling disebut pula dengan konseling yang berpusat pada konselor, pada pendekatan ini konselor yang membantu memecahkan masalah konseli dengan secara sadar mempergunakan sumber-sumber intelektualnya. Tujuan utama dari metode ini adalah membantu konseli mengganti tingkah laku emosional dan impulsif dengan tingkah laku yang rasional. Lepasnya tegangan-tegangan dan didapatnya ”insight” dipandang sebagai suatu hal yang penting.

Di dalam membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi konseli dengan rasional, konselor tidak boleh bersikap otoriter dan menuduh, walaupun dikatakan direktif. Larangan-larangan yang langsung, petuah yang didaktis dan petuah yang sifatnya mengatur sebaiknya di hindari.

Konsep direktif meliputi bahwa konseli membutuhkan bantuan dan konselor membantu menemukan apa yang menjadi masalahnya dan apa yang mesti kerjakan. Teknik-teknik yang bisa digunakan antara lain : (i) Informasi tentang dirinya, hal ini dilakukan untuk mengkonfrontasikan antara informasi yang diberikan dengan kenyataan yang ada; dari sini konseli diharapkan mampu mengevaluasi kembali sikapnya. (ii) Case history digunakan sebagai alat diagnosa dan terapeutik dengan tujuan membantu dalam ”rapport”, mengambangkan kartasis, memberikan keyakinan kembali dan kembali mengembangkan ”insight” dan (iv) Konflik yang digunakan sebagai alat terapeutik. Disituasi konflik sengaja ditimbulkan, konseli dihadapkan pada situasi yang memancing sikapnya dalam menghadapi realita dan konseli di motivasi untuk memecahkanya.

Dari beberapa teknik yang telah disebutkan alangkah baiknya diperjelas bagaimana teknik directive counseling berlangsung, diantaranya dapat menggunakan beberapa teknik dibawah ini:

1. Rational Emotive Therapy

Teknik ini diungkapkan oleh Albert Ellis yang menganggap bahwa manusia itu bersifat rasional dan irasional. Orang berprilaku dalam cara-cara tertentu karena ia percaya bahwa ia harus bertindak dalam cara itu. Orang mempunyai derajat yang tinggi dalam sugestibilitas dan emosionalitas yang negative (seperti, kecemasan, rasa berdosa, permusuhan dsb). Masalah-masalah emosional terletak dalam pikiran yang tidak logis. Dengan mengoptimalkan kekuatan intelektualnya, seseorang dapat membebaskan dirinya dari gangguan emosional. Para penganut teori RET percaya bahwa tidak ada orang yang disalahkan dalam segala sesuatu yang dilakukannya, tetapi setiap orang bertanggung jawab akan semua perilakunya

Pandangan yang penting dari teori rational-emotif adalah konsep bahwa banyak perilaku emosional individu yang berpangkal pada “selftalk” atau “omong diri” atau internalisasi kalimat-kalimat, yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya tentang dan emosi yang bersifat secara negative.

Tugas konselor yang menggunakan rational emotive therapy ialah membantu individu yang tidak bahagia dan menghadapi hambatan, untuk menunjukkan bahwa: (a) kesulitannya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak logis, dan (b) usaha memperbaikinya adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan. Konselor yang efektif akan membantu klien untuk mengubah pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak logis.

Tujuan utama rational emotive therapy adalah sebagai berikut

(a) Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualization-nya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif.

(b) Menghilangkan gangguan emosional yang merusak diri sendiri, seperti: rasa takut rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, dan rasa marah. Sebagai konseling dari cara berfikir yang keliru berusaha menghilangkan dengan jalan melatih dan mengajar klien untuk mengahadapi kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri.

Dalam rasional emotive therapy menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien.

1. Teknik-teknik emotif (afektif) :

a) Teknik Assertive training, yaitu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang dinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.

b) Teknik sosiodrama, yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang didramatisasikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan, ataupun gerakan-gerakan dramatis.

c) Teknik self modeling, yaitu teknik yang digunakan untuk meminta klien agar berjanji” atau mengadakan “komitmen” dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. Dalam self modeling ini, klien diminta untuk tetap setia pada janjinya dan secara terus menerus menghindarkan dirinya dari perilaku negatif.

d) Teknik imitasi, yakni teknik yang digunakan dimana klien diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.



2. Teknik-teknik Behavioristik

Menggunakan teknik ini merupakan upaya untuk memodifikasi perilaku-perilaku negatif dari klien dengan mengubah akar-akar keyakinan yang tak rasional dan tak logis.

a) Teknik Reinforcement (penguatan), yakni teknik yang digunakan untuk mendorong klien kearah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment (hukuman). Bila perilaku klien mengalami kemajuan dalam arti positif, maka ia dipuji “baik”, bila mundur dalam arti masih negative, maka dikatakan “tidak baik”. Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar system nilai dan keyakinan yang irasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.

b) Teknik Social Modeling (pemodelan social), yakni teknik yang digunakan untuk memberikan perilaku-perilaku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model social yang diharapkan dengan cara imitasi, mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dengan model sosial yang dibuat. Dalam teknik ini, konselor mencoba mengamati bagaimana proses klien mempersepsi, menyesuaikan dirinya dan menginternalisasi norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor atau terapis.

c) Teknik Live Models (model dari kehidupan nyata), yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan social, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah.



3. Teknik-teknik Kognitif

Teknik ini digunakan dengan maksud untuk mengubah sistem keyakinan yang irasional klien serta perilaku-perilakunya yang negatif. Dengan teknik ini klien didorong dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berfikir dengan cara yang rasional dan logis sehingga klien dapat bertindak atau berperilaku sesuai sistem nilai yang diharapkan baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya.

a) Home Work Assigments (pemberian tugas rumah). Dalam teknik ini, klien diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide serta perasaan-perasaan yang irasional dan ilogis dalam situasi-situasi tertentu, berkonfrontasi dengan verbalisasi dari yang mendahului mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Selanjutnya, pelaksanaan Home Work Assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor dikantor, disekolah, atau ditempat lain. Teknik ini sebenarnya dimaksdukan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap bertanggung jawab, kepercayaan diri sendiri serta kemampuan untuk penghargaan diri, pengelolaan diri klien serta mengurangi ketergantungannya kepada konselor atau terapis.

b) Teknik Assertive. Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui; role playing atau bermain peran, rehearsal atau latihan, dan social modeling atau meniru model-model social. John L. Shelton (1977) mengemukakan bahwa maksud utama teknik assertive training adalah untuk (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya, (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain, (c) mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri, (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri.

Dalam mengaplikasikan rational emotive therapy, Albert Ellis menganjurkan untuk menggunakan dan menggabungkan beberapa teknik tertentu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi klien. Hanya Ellis menyarankan agar teknik Home work Assigment perlu digunakan sebagai syarat utama untuk sesuatu terapi atau konseling yang tuntas.



2. Behavior Therapy

Tokoh-tokoh yang banyak memberikan informasi mengenai konseling behavioral antara lain; John D. Krumboltz, Carl E. Thoresen, Ray E. Hosford, Bandura, Wolpe.

Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Dalam konsep Behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.

Hal yang mendasar dalam konseling behavioral adalah prinsip penguatan (reinforcement) sebagai suatu kreasi dalam upaya memperkuat atau mendukung suatu perilaku yang dikehendaki. Menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer&Stone, 1980, 190), konseling behavioral merupakan suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan keputusan tertentu. Penekanan istilah belajar dalam pengertian ini adalah atas pertimbangan bahwa konselor membantu orang (klien) belajar atau mengubah perilaku. Konselor berperan membantu dalam proses belajar dengan menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya.

Tujuan konseling menurut Krumboltz harus memperhatikan kriteria berikut; (1) tujuan harus diinginkan oleh klien, (2) konselor harus berkeinginan untuk membantu klien mencapai tujuan, dan (3) tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dinilai pencapaiannya oleh klien

Tujuan konseling dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (1) memperbaiki perilaku salah sesuai, (2) belajar tentang proses pembuatan keputusan, dan (3) pencegahan timbulnya masalah-masalah.

Menurut Corey, ada tiga fungsi tujuan dalam konseling behavioral yaitu (1) sebagai refleksi masalah klien dan dengan demikian sebagai arah bagi konseling, (2) sebagai dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling, (3) sebagai kerangka untuk hasil konseling.

Urutan pemilihan dan penetapan tujuan yang digambarkan oleh Cormier dan Cormier (Corey, 1986, 178) sebagai salah satu bentuk kerjasama antara konselor dengan klien, adalah sebagai berikut:

(1) Konselor menjelaskan maksud tujuan.

(2) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling.

(3) Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan apakah merupakan perubahan yang dimiliki oleh klien.

(4) Bersama-sama menjajagi apakah tujuan-tujuan itu realistic.

(5) Mereka mendiskusikan kemungkinan manfaat-manfaat tujuan.

(6) Mereka mendiskusikan kemungkinan kerugian-kerugian tujuan.

(7) Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut: untuk melanjutkan konseling, atau mempertimbangkan kembali tujuan akan mencari referal.

Mengenai metode konseling, Krumboltz mengkategorikan menjadi empat pendekatan yaitu pendekatan: (1) operant learning, (2) unitative learning atau social modeling, (3) cognitive learning, dan (4) emotional learning.

(1) Pendekatan operant learning, dalam pendekatan ini hal yang sangat penting adalah penguatan (reinforcement) yang dapat menghasilkan perilaku klien yang dikehendaki. Konselor hendaknya dapat memilih tindakannya agar dapat memberikan penguatan terhadap perilaku klien. Disamping itu konselor diharapkan dapat memanfaatkan situasi diluar klien untuk memperkuat perilaku klien yang dikehendaki, yang harus diperhatikan adalah saat yang tepat untuk memberikan penguatan baik dalam wawancara maupun diluar wawancara. Dalam pengetahuan ini ada empat hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) penguatan yang diterapkan hendaknya memiliki cukup kemungkinan untuk mendorong klien, (2) penguatan hendaknya dilaksanakan secara sistematis, (3) konselor harus mengetahui kapan dan bagaimana memberikan penguatan , dan (4) konselor harus dapat merancang perilaku yang memerlukan penguatan.

(2) Metode unitative learning atau social modeling diterapkan oleh konselor dengan merancang suatu perilaku adaptif yang dapat dijadikan model oleh klien. Model-model perilaku adaptif dapat dalam bentuk rekaman, pengajaran berprogram, video, film, orang atau biografi. Model-model yang dipilih hendaknnya merupakan suatu subyek yang berprestise, kompeten, dapat diketahui, atraktif (menarik), dan berpengaruh. Semua akan berpengaruh kepada klien apabila memiliki kemiripan dengan klien.

(3) Metode “cognitive learning” atau pembelajaran kognitif merupakan metode yang berupa pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan klien, dan bermain peranan. Metode ini lebih banyak menekankan aspek perubahan kognitif klien dalam upaya membantu memecahkan masalahnya.

(4) Selanjutnya metode “emotional learning” atau pembelajaran emosional diterapkan pada individu yang mengalami suatu kecemasan. Pelaksanaannya dilakukan dalam situasi rileks dengan menghadirkan rangsangan yang menimbulkan kecemasan bersama suatu rangsangan lain yang menyenangkan. Dengan cara itu maka kecemasan dapat berkurang dan akhirnya dapat dihilangkan.

Penggunaan teknik-teknik oleh konseor behavioral tergantung kepada beberapa variable, antara lain: (1) kelebihan dan perilaku klien, (2) macam masalah klien yang memerlukan bantuan, (3) macam dan nilai penguatan yang tersedia dalam lingkungan klien, dan (4) orang yang mempunyai arti tertentu bagi kehidupan klien dan dapat membantu konselor dalam meningkatkan perubahan perilaku yang dikehendaki.



2. Non-Directive (Client Centered)

Pada teknik ini konseli diberi kesempatan untuk memimpin wawancara dan memikul sebagian besar dari tanggung jawab atas pemecahan masalahnya. Beberapa ciri-cirinya antara lain : (a) konseli bebas untuk mengekspresikan dirinya (b). Konseli menerima, mengetahui, menjelaskan, mengulang lebih secara objektif pernyataan-pernyataan dari konseli (c) Konseli ditolong untuk makin mengenal diri sendiri dan (d). Konseli membuat asal-usul yang berhubungan dengan pemecahan masalahnya.

Salah satu keuntungan terbesar dari metode ini adalah mengurangi ketergantungan konseli. Bahkan memberikan pelepasan emosi yang dalam dan memberi lebih banyak kesempatan untuk pertumbuhan ”self sufficiency”.

Teknik Non-Directive Counseling diantaranya adalah teknik Client Centered.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar